Thursday, February 15, 2007

Rese, Rusuh, Resesi
Ate
music arrange by Ate
lyric written by Ate


(verse I)
Sudah banyak yang kulihat hari ini ternyata, hanya sequel hari kemarin. Dan maseh sama apa yang kurasa, sejuta rasa iba meski tak cukup mampu untuk membantu jerit tangis dari wajah yang penuh harap, bersimbah peluh, berdebu, berbaur dengan orang-orang yang turun kejalan berteriak mana janji yang kau ucapkan dulu. Dar, der, dor,. Pistol, gas, jawabnya, agar bubar, mulai jatuh korban dalam satu adegan yang bikin deg-degan, seperti film perang yang ada diTV. Bukan peluru ataupun tinju yang kami mau. Andai kau juga rasakan mungkin kau akan tau. Ha ha, lain tempat lain pula ceritanya. Disini semua bunuh membunuh, saling bantai, bahkan juga saling penggal seenaknya aja. Aduh biyuung, pusing nich gua. Satu negara kok begitu, satu daerah kok begitu, tinggal dikota yang sama kok begitu seh, kenapa seh? (iya neh), kenapa jadi begitu seh? (hobi kaleee). Damai dong damai, jangan lagi-lagi perang saudara gak nyelesain masalah. Fikir..... Gimana nasib anak-anakmu? Kehilangan ayah-kehilangan ibu, kehilangan tempat tinggal lalu hidup dipengungsian kasihan khan, maseh kecil-kecil harus hidup sendirian. Apa hanya karena beda budaya atau beda religi terpancing provokasi? Hingga mau menghancurkan tanah yang sudah kau bangun bertahun-tahun, huh. Sia-sia semua

Akankah ini, akan terus begini?
Mungkinkah damai, akan jadi abadi?
Hilangkan semua, segala perbedaan

Pastikan kita semua kembali ceria


(verse 2)
Belum habis masalah ini sudah datang lagi masalah yang lain, silih berganti, seperti penyakit komplikasi, sudah terkontaminasi, buat ngewujudin ambisinye, kaga pake pikir dose atau emang orang-orang disini udeh pade gile. Mungkin ini wujud keserakahan. Merubah setiap sudut kota menjadi rumah kaca atau komplek elit, hingga tak ada lagi hutan kota yang jadi tempat perlindungan. Coba tebak, apa yang datang? Bukan, bukan lagi peringatan, tapi sudah hukuman. Lihat, lihatlah disana (na), lihatlah disini (dimane), metropolitan mulai tenggelam, jalanan sudah terendam, rumah pun tak kelihatan, sungguh kasihan, siapa yang harus disalahkan? Kalau sudah begini semua orang jadi mengeluh, dan ada orang yang jadi sok tau, sibuk menuduh, bukan membantu mereka yang disana tuh, terpaksa bernaung, dan untungnya maseh ada sisi manusia dalam diri makhluk kota, ringankan beban mereka yang jadi korban banjir


(verse 3)
Sampai kapan semua ini akan terjadi? Atau akankah selalu terus begini sampai kita mati? Jangan pernah berfikir ini hanya sementara, jika setiap hari cuma mancing kerusuhan, merusak dan entah, gak tau apalagi yang akan terjadi dibumi pertiwi yang sangat kucintai, seakan gak ada habisnya mataku melihat chaos, mo disini, mo disana, warisan siapa seh neh? (oh no, jangan, jangan menuduh seenaknya gitu dong). Lo pikir semua ini salah siapa? Tentu saja, salah kita, salah kita semua, dan sudah tentu kitalah yang harus bertanggung jawab. (pada siapa te’?) Bendera merah putih, burung garuda dan juga anak-cucu kita nanti, masa ninggalin warisan berantakan begini. Hutan dibabat, tanah digarap, beda budaya disikat. Capek-capek kakek gue berjuang, biar jadi negara kesatuan. (lha, pan taon 28 udeh besumpe, satu bangse, satu bahase ame satu tanah air, Indonesia). So, why we can not stop the war, and livin’ in peace always say cheers, never drop the tears. Jadi gak ada lagi urat yang melintir, so pasti semua orang kembali nyengir. Mulai sekarang berpeganganlah tangan, kita akan kuat untuk bertahan melewati semua cobaan

No comments: